Confucius, Nagarjuna


Aku sering mendengar sambutan dari rektor kampusku pada berbagai acara. Beliau menyebutkan nama-nama tokoh besar seperti Socrates, Plato, Aristotle, Mahatma Gandhi, Martin Luther, dan lainnya. Kemudian pada suatu acara, ada juga satu nama yang sering disebut oleh rektor, yaitu Confucius. Kongzi atau Khongcu (dialek Hokian) atau Confucius (Latin) adalah nama nabi terakhir dalam agama Konghucu.  Ia lahir tanggal 27, bulan 8, tahun 0001 Imlek atau 551 sM.  Kongzi adalah nabi terbesar dalam agama Konghucu dan oleh sebab itu banyak orang yang kemudian menamai Ru Jiao sebagai Confucianism, yang kemudian di Indonesia dikenal sebagai Agama Konghucu.

Rektor menyebutkan bahwa Confucius mengajarkan, kesuksesan suatu negara bergantung pada kedamaian keluarga-keluarga di dalamnya. Jika keluarga-keluarga hidup dalam kedamaian dan keamanan, menurut ajaran Confucius, maka negara tersebut juga akan menjadi aman. Prinsip ini dapat diterapkan tidak hanya dalam skala keluarga, tetapi juga di berbagai konteks, termasuk di kampus.

Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa menciptakan suasana damai di lingkungan sekitar kita? Salah satu langkah penting adalah memperhatikan dan mempromosikan kesejahteraan dan kebahagiaan semua individu yang terlibat. Ketika setiap orang merasa dihargai, diakui, dan bahagia, maka harmoni dan kedamaian akan mewarnai interaksi dan hubungan di dalam lingkungan tersebut.

kemudian rektor menyebutkan nama Nagarjuna. Nagarjuna adalah seorang guru perintis yang sangat penting dalam tradisi filsafat Buddha Mahayana. Dia hidup pada abad ke-2 hingga ke-3 Masehi di India. Nagarjuna terkenal karena memperkenalkan dan menjelaskan konsep kekosongan (shunyata) dalam ajaran Buddha.

Dalam pemikirannya, Nagarjuna mengembangkan konsep kekosongan sebagai landasan fundamental dari realitas yang sejati. Menurutnya, semua fenomena yang ada tidak memiliki keberadaan yang mandiri atau substansial. Mereka adalah hasil dari relasi dan ketergantungan yang kompleks antara unsur-unsur yang saling terkait.

Penting untuk membangun hubungan yang saling menghormati dan berlandaskan solidaritas. Mengakui keberagaman dan menghargai perbedaan pendapat serta budaya akan membantu menciptakan suasana yang inklusif dan harmonis. Selain itu, mendukung komunikasi yang terbuka, transparan, dan penuh empati juga merupakan kunci penting dalam menciptakan kedamaian.

Sepertinya semua akan setuju dengan statement bahwa manusia perlu mengedepankan nilai-nilai seperti toleransi, pengertian, dan kesetaraan. Melalui pendekatan ini, kita dapat membangun kerjasama yang baik, menyelesaikan konflik dengan bijaksana, dan mencapai kompromi yang saling menguntungkan. Jika semua pihak berusaha menjaga kedamaian dan membangun hubungan yang harmonis, maka suasana damai dapat terwujud.

Dalam konteks kampus, menciptakan suasana damai tentunya melibatkan peran dari seluruh sivitas akademik. Mulai dari mahasiswa, pimpinan, dekanat, dosen, tendik, kabiro kabag kasubag. Semua lini perlu saling bekerja sama dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Dalam suasana yang aman dan damai, proses pembelajaran dan pengembangan akademik dapat berlangsung secara efektif, dan para mahasiswa dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Menciptakan suasana damai membutuhkan komitmen bersama dan upaya nyata dari setiap individu yang terlibat. Dengan menghargai dan memprioritaskan kesejahteraan semua pihak, baik di lingkungan keluarga, kampus, maupun negara, aku yakin, itu dapat membawa perdamaian dan kebahagiaan kepada banyak orang.

Jika dalam bekerja bisa memegang apa yang disampaikan oleh Confucius dan Nagarjuna, aku pikir perasaan overthinking yang bisa hadir di benak rekan sejawat tidak akan hadir. Nagarjuna mengajarkan bahwa kesadaran dan solidaritas adalah faktor yang mendasari keberadaan kita. Untuk mengatasi rasa cemburu dan merasa tidak dihargai, penting untuk mengembangkan kesadaran diri yang kuat dan mengakui pentingnya kontribusi dan nilai setiap individu dalam tim. Menurutku, baik pimpinan atau elemen lainnya seyogyanya bisa menghargai dan merayakan keberhasilan rekan sejawat. Hal itu dapat mendorong kolaborasi dan mengurangi perasaan "terasing".

Confucius juga mengajarkan pentingnya kerja sama dalam mencapai keberhasilan. Dalam lingkungan kerja misalnya, penting untuk membangun budaya kerja yang kolaboratif di mana setiap orang merasa diperhatikan, dihargai, dan didukung. Melibatkan rekan sejawat dalam pengambilan keputusan, membagikan kesempatan pengembangan, dan memberikan umpan balik yang konstruktif dapat meningkatkan kepercayaan dan mengurangi perasaan terasing. 

Tentu saja, merasa terasing atau terisolasi secara emosional dapat memiliki berbagai bahaya dan dampak negatif pada kesejahteraan seseorang. 

Salah satu hal sederhananya ketika merasa terasing, kita mungkin merasa sulit untuk menikmati hubungan sosial, pengalaman sosial, dan kegiatan yang biasanya memberi kita kebahagiaan. Untuk siapapun, memiliki perasaan terasing sungguh tidak menyenangkan. Namun, bisa diupayakan agar kembali merasa 'hidup', dengan berani membangun hubungan yang sehat, mengalihkan dengan hal kecil yang diyakini bisa mendistrak seperti menonton video lucu atau membaca sesuatu, mencari komunitas yang mendukung, dan mencari bantuan profesional jika perlu. Hal-hal itu menurutku dapat membantu mengurangi bahaya dan dampak negatif dari perasaan terasing.

Aku merasa, terkadang memang menemukan banyak hal menarik dari sambutan-sambutan yang disampaikan oleh sang rektor. Aku berharap sama seperti yang disampaikan oleh beliau. "Kita itu tiada artinya apa apa. Yang menjadikan ada adalah kesadaran, solidaritas. Untuk membuat kita maju, maka kita harus mengakui orang lain. Confucius atau Nagarjuna, baiknya kita bisa belajar dan memegangnya sebagai sebuah nilai luhur dalam menjalani kehidupan sehari-hari."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kedai Kopi: Kisah Rasa dan Resiliensi di Setiap Gelas

La mer est un poème sans fin

World that Seemed Strangely Familiar