Akhir
Just a short fiction based on lyrics
"I used to be through with love, confused in love.
No way in knowing what I wanna do in love.
But not no more, I will stress no more."
"Kak, sepekan ini aku mencoba memilah rasa." Suara perempuan itu pelan memecah hening. Terdengar helaan tipis keluar dari mulutnya. "Entah masuk dalam teori Ikigai atau Konmari, yang jelas, aku berhasil membuat keputusan."
― Confused in Love by Keyshia Cole.
"Kak, sepekan ini aku mencoba memilah rasa." Suara perempuan itu pelan memecah hening. Terdengar helaan tipis keluar dari mulutnya. "Entah masuk dalam teori Ikigai atau Konmari, yang jelas, aku berhasil membuat keputusan."
Lia masih menunduk, bahunya lesu, namun bibirnya tersenyum.
"Aku, berterima kasih padamu. Aku menikmati saat-saat bersama, meski tidak sepenuhnya merasa begitu."
Lelaki dihadapannya itu, mulai tertarik dengan arah pembicaraan yang dibawa Lia.
Suasana kafe sore itu tidak terlalu ramai. Lia dan seorang lelaki duduk berhadapan, dengan segelas americano dan secangkir matcha yang masing-masing sudah tinggal separuh.
Lia yang mengajak laki-laki itu bertemu. Namun detik dimana dia memulai pembahasan itu, Lia tidak berani menatap lawan bicaranya. Jemarinya saling tertaut, menguatkan dirinya sendiri. Dia sudah menunggu cukup lama untuk mendapatkan momen ini. Untuk itu, dirinya tidak mau mengacaukan suasana, menghindari pendar bola mata lelaki yang pernah mengisi hatinya itu. Perasaannya sukar dijelaskan.
"Aku tidak mau menyalahkan siapapun karena tidak akan ada yang membenarkan-pun, pada akhirnya", ada helaan nafas berat yang terdengar di ujung kalimatnya.
"Lia," sebutnya lembut. Membuat perempuan di hadapannya terpaksa mendongak sepersekian detik, lalu kembali memalingkan pandangannya.
"Kau tau kan, jika sedari awal memang rumit. Perasaan yang tumbuh ini terjadi karena suatu alasan, dan tidak ada yang benar-benar menghentikannya."
"Tidak, Kak. Sedari awal aku sudah menawarkan kepadamu. Aku, tidak, maksudku kita bisa berhenti lebih awal, jika memang mau." Lia menggigit bibir bawahnya.
Lelaki itu meneguk minumannya sebelum menimpali.
"Aku butuh waktu. Aku sudah tidak bisa jauh darimu. Kau kan yang menjebakku, menjadi bonekamu. Aku butuh waktu untuk lepas," ucapnya dengan seringai kecil yang menjadi khas laki-laki yang cukup lama dikenalnya itu.
Lia bergidik. Tidak menyangka setelah sekian waktu, kata-kata itu kembali terucap.
"Sebentar.. Boneka?" Kali ini Lia memberanikan diri memandang wajah laki-laki itu.
"Akui saja jika kau tidak menaruh rasa, kau hanya menginginkanku, sekadarnya saja."
Rasa takut yang sedari tadi hinggap di hati Lia mendadak sirna, berubah menjadi rasa geram dan amarah yang ingin sekali ditumpahkan. Oh, laki-laki yang satu ini memang pandai memutar balikkan suatu keadaan, suatu hal yang Lia baru sadari saat lamat-lamat keadaan mulai berubah dan Lia menjadi selalu mengalah.
"Aku ingin mengoreksi sedikit, Kak. Sepertinya kamu perlu waktu untuk merenungkan siapa yang menjadi boneka disini. Dan soal rasa, aku sudah pernah mengakuinya. Kurasa kita tidak perlu membahasnya lagi karena toh itu akan percuma."
Laki-laki itu hanya diam, namun sorot matanya menatap Lia tajam.
"Jangan hubungi aku lagi, kamu tahu aku tidak akan menghubungimu lebih dulu. Seperti yang biasa kita lakukan sebelum ini."
Lia bersiap bangkit dari kursinya. Dia mengambil ponsel dan memasukannya ke dalam tas. "Kita selesai. Aku serius."
"Mau kemana? Kita belum selesai bicara. Kopimu bahkan belum habis."
"Aku sudah tidak bernafsu lagi", ujar Lia malas.
"Dengan aku, atau kopimu?"
"Keduanya."
Lelaki itu tertawa.
"Kau akan merindukanku, Lia."
Hati Lia berderit. Ada rasa sesak saat mendengar kalimat lelaki itu. Tapi kakinya sudah lebih dulu melangkah membuat lelaki itu tidak melihat raut muka Lia yang berubah.
Laki-laki itu menyesap sisa minuman yang ada di cangkirnya. "Sudah bosan ya? Jadi dingin," gumamnya.
Jemarinya menggulirkan layar ponsel dan mendapati ruang chatnya dengan perempuan itu telah kosong. Semua pesan ditariknya tanpa bekas, tidak menyisakan apapun. Laki-laki itu meyakini bahwa foto yang disimpan perempuan itu, barangkali telah dihapusnya juga. Senyum laki-laki itu mengembang, "Kau selalu bermain bersih. Aku bahkan tidak perlu repot dan merasa rugi sedikitpun."
Sedikit perasaan kosong merambati laki-laki itu. Dia tidak sempat meminta maaf. Egonya yang tinggi membuatnya tidak sempat terucap.
Sementara itu, Lia berusaha mengumpulkan segenap nafasnya. Tangannya menggenggam kemudi namun sesak yang sedari tadi menghinggapi hatinya mulai mengambil alih kewarasannya.
Sekarang atau nanti, semua akan sama saja.
Lia melajukan mobilnya, "Benar, semua akan sama saja pada akhirnya. Sekarang atau besok, kita akan tetap mengakhirinya."
Fin
***
Komentar
Posting Komentar